“Kami terbuka pada semua masukan. Kita juga manusia, bisa juga salah. Oleh karena itu saya minta pada tim berkali-kali, kaji detil. Dan kita kaji detail dan kita tidak menemukan, masa kita mau karena tekanan, omongan sana sini, terus lantas mundur, ya gak bisalah. Kita harus yakin bahwa kita sudah melakukan kajian yang benar,” kata dia saat mengisi Studium Generale di kampus Universitas Padjadjaran di Bandung, Jumat, 3 Oktober 2017.
Luhut mengklaim, sudah memimta semua yang mengkritik soal rencana rekalmasi menemuinya.
“Saya juga diberitan di media macam-macam, saya beritahu, siapa yang di luar bilang begini, datang ke saya, bawa masalahnya. Malah saya bilang, saya cium tangan kalau saya salah. Karena kadang kesal juga Pak Rektor. Karena menurut saya sudah di luar kepatutan ngomongnya, seakan saya gak punya nurani,” kata dia.
Selepas mengisi Studium Generale itu, Luhut enggan bicara soal reklamasi lagi. Dia mengklaim, urusannya dengan reklamasi sudah selesai. “Saya kalu itu sudah, kan saya sudah, moratorium sudah dicabut. Terserah pemerintah DKI itu, biarkan mereka berproses sendiri,” kata dia.
Luhut juga enggan mengomentari pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla soal reklamasi teluk Jakarta. “Saya tidak mau berkomentar mengenai itu, lagi sibuk mengurusi Kawasan Ekonomi Khusus Bekasi-Karawang-Purwakarta,” kata dia.
Soal reklamasi ini menjadi pertanyaan salah satu mahasiswa saat dibuka sesi tanya jawab di Studium Generale kampus Universitas Padjadjaran. Luhut meminta anak buahnya, Deputi III Bidang Koordinasi Infrastruktur Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Sumber Daya, Ridwan Djamaluddin yang menjelaskan.
“Reklamasi ini di mana-mana menjadi topik hangat dan cenderung menjadi komoditas politik. Pertama, kalau bicara reklamasi, ini bukan barang baru. Sejak 1300 sudah terjadi reklamasi. Orang bisa berdebat teknis reklamasi sehari semalam, dan bisa apa saja kesimpulannya, tergantung teknisnya seperti apa, kita mau keluar uang berapa,” kata dia, Jumat, 3 November 2017.
Ridwan mengatakan, reklamasi teluk Jakarta sudah menjadi rencana sejak tahun 1995, dan prosesnya sempat dihentikan dengan penerbitan Moratorium oleh Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan pada 19 April 2016. “Setelah itu, kami bekerja mengevaluasi apa yang menjadi dasar moratorium dilakukan. Memang ada pelanggaran di sana. Keluarlah surat sanksi dari Ibu Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan,” kata dia.
Menurut Ridwan, timnya di Kementerian Koordinator Maritim baru masuk membahas soal itu sejak Moratorium. Di tengahnya, pada 23 Agustus 2017 dan 2 Oktober 2017, Gubernur DKI mengirim surat meminta peninjauan moratorium tersebut. “Gubernur DKI mengatakan, mohon moratorium dicabut atau ditinjau kembali karena semua keweajiban sudah dipenuhi. Kemudian Ibu Menteri LHK mengeluarkan surat sanksi dicabut. Kemudian Pak Menko Maritim mencabut perintah moratorium yang dikeluarkan 19 April2016. Itu cerita (reklamasi) teluk Jakarta,” kata dia.
Ridwan mengatakan, soal reklamasi itu sempat dibahas dalam Rapat Terbatas Kabinet. “Presiden mengatakan dalam Ratas Kabinet, perhatikan aspek regulasi, aspek lingkungan, dan aspek sosial,” kata dia.
Dia mengklaim, seluruh aspek yang diminta presiden sudah dipelajari. “Regulasi sudah kita runtut, semua tidak ada kesalahannya. Aspek lingkunga, yang disebut itu, bagi kami Komisi Amdal yang menilai, sudah tidak ada maslah. Kalau masih ada yang menimbulkan masalah. Kasih tahu saya, kalau ada yang bisa membuktikan saya, kasih tahu, nanti saya akan proses ulang,” kata Ridwan.
Ridwan mengklaim, rencana reklamasi juga tidak berimbas pada nelayan yang berada di teluk Jakarta. “Ketika ada pembangunan yang menghambat mobilitas nelayan, sudah tidak kita rekomendasikan. Misalnya ada kekhawatiran tentang membangun tembok untuk menghalangi air panas bagi pembangkit listrik, kita tidak setujui karena akan menghambat lalu-lintas nelayan,” kata dia.
Dia mengklaim, kawasan yang kini menjadi lokasi pulau reklamasi di teluk Jakarta juga bukan areal tangkap nelayan. “Kawasan yagn ada di pulau-pulau reklamasi yang direncanakan itu tidak ada lagi ‘fishing-ground’, tempat ikan hidup, di situ kualitas airnya tercemar dan tercemar berat,” kata Ridwan.
Ridwan mengatakan, proyek reklamasi itu tidak akan menggusur nelayan. “Nelayan tidak ada yang digusur, nelayan tetap di rumah masing-masing. Kalau toh nanti ditempatkan lebih bagus, sudah dipikirkan untuk menyediakan salah satu pulau khusus untuk bermukim nelayan,” kata dia.
Pemerintah juga berencana membangun tanggul pesisir untuk melindungi permukiman nelayan saat ini dari ancaman banjir rob. “Pemerintah saat ini membangun tanggul pesisir sepanjang 20,1 kilometer untuk melindungi pemukiman nelayan agar tidak terkena rob, limpasan air laut,” kata Ridwan.
Ridwan mengatakan, dua hal yang selalu diserang soal reklamasi. Pertama soal KLHS (Kajian Lingkungan Hidup Strategis) yang dituding tidak pernah dibuat, serta Perda Zonasi. “Itu salah. KLHS itu ada, dan dilakukan pemprov DKI.
Kedua selalu dipersoalkan belum ada Perda Zonasi. Ini Undang-Undang baru, tahun 2014, jadi dibelakang keluarnya. Apa kemudian seluruh pembangunan di Republik ini berhenti nunggu semua Perda keluar,” kata dia. “Kalau semua nunggu Perda Zonasi, tidak akan ada pembangunan pelabuhan, tidak akan ada pembangunan pariwisata, karena semua di pesisir itu harus tunggu dulu itu.”
AHMAD FIKRI | TEMPO
0 Response to "Ribut Soal Reklamasi, Menko Luhut : Saya Cium Tangan Kalau Saya Salah!"
Posting Komentar